Ditulis oleh : Ust. Tri Asmoro Kurniawan
Ibarat mendaki gunung, kehidupan berumah tangga adalah perjalanan penuh liku yang tidak mudah. Ia juga tidak aman karena banyaknya ancaman dan godaan yang mengintai sepanjang perjalanan. Tapi, waktu terus akan melaju. Bertambah dari detik menuju detik berikutnya. Kita hanya harus memastikan bahwa pertambahan itu membawa kita menuju tujuan pendakian, puncak.
Jangan tanya betapa indah pemandangan yang akan tersaji dari atas puncak itu. Luar biasa! Demikian komentar para pendaki yang mampu menggapainya. Sebuah keindahan spektakuler yang memuaskan semua kenikmatan panca indera. Bahkan indera keenam; jiwa kita! Ia menggetarkan seluruh persendian dengan kenikmatan aneh serupa orgasme. Benar-benar harga yang pantas untuk seluruh daya upaya yang telah kita kerahkan. Semua proses sulit itu telah terbayar lunas!
Tapi, berapa banyak dari kita yang bahkan tidak tahu bahwa ada puncak yang dituju. Dan bahwa mereka sedang berjalan mendaki? Berjalan berputar-putar kehilangan arah. Tersaruk-saruk kesakitan di jalan yang berdebu. Raga lelah di wajah muram dan penampilan kusut masai. Amboi, kata apalagi yang bisa mewakili keadaan mereka?
Padahal, hai, lihat! Keindahan ini bahkan bisa kita nikmati di sepanjang perjalanan. Sawah yang terbentang, sungai yang berkelok, mawar yang mewangi, pinus yang misterius, bahkan desir angin yang menusuk tulang, adalah fakta-fakta yang tersaji. Memang tidak sesempurna pemandangan di puncak sana, tetapi cukup untuk membayar jerih payah yang telah kita belanjakan.
Maka kita bisa beristirahat sejenak melepas lelah. Berbincang dengan teman perjalanan seraya menikmati dan mensyukuri perolehan sejauh ini, serta mengumpulkan tenaga untuk menempuh perjalanan selanjutnya. Bukankah dengan demikian seluruh proses pendakian ini menjadi indah? Karena ada banyak puncak bukit sebelum puncak gunungnya sendiri. Dan itu harus kita nikmati!
Maka, marilah berbagi dengan isteri-isteri kita sebab merekalah teman perjalanan ini! Agar kita bisa merasai keindahan demi keindahan yang kita dapatkan bersama-sama, bahkan sejak menit pertama kita memutuskan menjadi tim pendakian puncak hidup berumah tangga; sakinah, mawadah, dan rahmah.
Saling membimbing, mengingatkan, dan berbagi bekal. Bersama-sama melacak peta jika kita merasa tersesat, bersama-sama menyemangati jika ada yang hampir menyerah, serta bersama-sama menikmati waktu istirahat di kala penat. Saling mendukung saling terhubung, sebab perjalanan ini milik kita bersama. Jangan egois dan saling menyalahkan sebab hal itu hanya akan merusak semuanya. Jangan suka membandingkan diri dengan rombongan yang lain sebab hal itu hanya akan membuat kita kecewa. Jangan berdebat kalau hal itu hanya menghamburkan energi.
Satu hal yang harus kita tahu, kecepatan perjalanan masing-masing dari kita berbeda-beda, hingga waktu yang kita butuhkan untuk sampai di puncak juga tidak akan sama. Namun itu tidaklah penting. Hal yang paling penting adalah bahwa kita telah menempuh pendakian dan berusaha semaksimal mungkin menikmati seluruh prosesnya. Bahkan andai Allah menakdirkan kita tidak sampai ke puncak gunung karena satu dan lain hal. Kita harus percaya bahwa hal itulah yang terbaik, insya Allah. Toh, beberapa bukit telah kita lalui dan nikmati.
Kemudian, meski kita harus fokus menuju puncak, bukan berarti perjalanan ini harus tegang dan mencekam. Kita bahkan harus menciptakan suasana nyaman agar kondusif, sebab ini adalah tamasya. Beristirahat seperlunya ketika menghajatkan, menikmati bekal saat merasa lapar, mengambil air wudhu ketika waktu shalat tiba, mencium wewangian bunga yang menggoda, menghirup hembusan angin untuk melapangkan dada, bahkan menyapa orang lain yang kita temui.
Kita harus pandai-pandai mengatur keseimbangan agar semuanya berjalan dengan baik. Dalam kehidupan rumah tangga ia bernama kesehatan jasmani dan ruhani, kecukupan materi, keharmonisan keluarga, hubungan sosial yang sehat, kemajuan karir dan pengembangan diri yang terukur, serta merasakan kenikmatan-kenikmatan duniawi yang halal.
Terakhir, kita harus tahu bahwa kemajuan perjalanan ini tidak diukur dari pencapaian-pencapaian besar. Tapi justeru dari yang kecil-kecil namun terakumulasi dengan baik. Ia serupa puzzle yang terangkai dari potongan demi potongan. Dalam hitungan panjang, ia bukan terukur dari meter atau kilometer. Namun dari centimeter ke centi meter berikutnya, bahkan seringkali dari millimeter ke millimeter setelahnya.
Maka, memastikan diri bahwa kita masih tetap berjalan ke depan dan tidak berbelok arah ke belakang, itu sudah cukup dan layak disyukuri. Apalagi jika kelelahan sudah demikian parah mendera. Kita harus tetap berfikir positif meski merasa tidak ada kemajuan. Kita juga harus tetap yakin akan sampai ke puncaknya meski kini sedang dalam perjalanan. Memohon pertolongan Allah adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan.
Sungguh, pendakian ini adalah kemestian yang harus kita ambil. Dan semua pengorbanan yang kita curahkan, akan mendapatkan balasan yang sepadan. Insya Allah!