Ditulis oleh : Ust. Tri Asmoro Kurniawan
Fitri menerima mainan yang diulurkan Siska. “Terima kasih, ya!” mulut mungilnya berucap ringan. Wajahnya berbinar senang. Inilah kali pertama dia memegang mainan berharga mahal. Sebuah robot kecil yang digerakkan baterai. Bisa berjalan sendiri seraya mengeluarkan berbagai suara bergantian. Biasanya hanya mainan plastik lima ribuan yang diterimanya dari bapak atau kakak-kakaknya. Dia benar-benar terkejut!
Pun demikian halnya dengan Siska. Dia tidak menyangka mainan yang hampir dibuangnya itu masih sangat berharga bagi Fitri, teman barunya. Lagi pula, apa sih istimewanya memberikan mainan bekas? Tentu saja ucapan terima kasih itu mengejutkannya. Tapi dia suka, karena ucapan itu memberikan rasa nikmat di hatinya. Dia merasa baru saja melakukan sebuah perbuatan berharga. Dia sangat bahagia.
Memang, tidak semua anak terbiasa mengucapkan ‘terima kasih’ atas sebuah pemberian atau bantuan yang mereka terima dari orang lain. Meski sebenarnya pengucapannya tentulah merupakan tindakan terpuji, anak-anak toh belum tahu apa manfaatnya bagi mereka dan orang lain. Juga kenapa mereka harus melakukannya.
Kitalah sebagai orang tua yang harus membimbing dan mengarahkan mereka agar bisa berterima kasih. Sebab sikap anak-anak yang terkesan tidak menghargai bantuan atau pemberian orang lain dengan diamnya mereka, bukan berarti mereka tidak tahu berterima kasih. Mereka hanya tidak mengerti untuk apa mengatakannya. Juga kapan dan bagaimana menyatakan perasaan mereka. Mereka tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk mengatakannya.
Ungkapan terima kasih bisa mewakili perasaan rendah hati karena dibantu dan diberi perhatian. Mengesankan perasaan membutuhkan dan tahu membalas budi. Kemudian, mensyukurinya dengan menghargai dan menghirmati si pemberi. Hal ini akan mendatangkan kebahagiaan bagi si pemberi selama ucapan yang keluar dari lisan adalah kalimat tulus disertai wajah cerah berseri. Namun, jika yang terdengar adalah suara ketus yang terkesan meremehkan, tentu saja ucapan itu justeru menyakitkan hati pendengarnya.
Ucapan terima kasih yang ‘berjiwa’ –karena berasal dari hati yang ikhlas- inilah yang mesti kita ajarkan kepada anak-anak. Agar ucapan yang keluar dari lisan-lisan mereka bukanlah kata-kata kering yang verbalistik, tapi ungkapan hati yang simpatik. Agar pula perasaan dihargai, dibutuhkan dan disyukuri pemberiannya bisa membahagiakan si pemberi.
Pertama yang kita lakukan tentu saja adalah member contoh. Inilah metode terbaik sekaligus termudah yang bisa kita kerjakan. Usia anak-anak –terutama 2 sampai 3 tahun pertama- adalah usia peniruan model. Mereka akan mencoba apa yang diucapkan dan dilakukan orang lain di lingkungannya. Perilaku yang sebenarnya menunjukkan bahwa mereka sedang belajar seiring perkembangan kemampuan kognitif mereka.
Awalnya, kemampuan ini berpusat pada penguasaan bahasa, sehingga yang pertama kali mereka tiru adalah bahasa yang digunakan orang-orang di sekitar mereka.
Caranya bisa dengan mengucapkan terima kasih atau ‘jazaakumullah’ kepada mereka setiap kali mereka memberikan bantuan atau melakukan tindakan manis yang menyenangkan. Selain itu, kita bisa juga melakukannya dengan pengucapan yang jelas di depan mereka, baik saat kita atau mereka menerima pemberian, bantuan atau tindakan yang baik dari orang lain. Konsistensi orang tua dalam setiap pilihan tindakan mereka, jelas akan besar pengaruhnya bagi anak-anak.
Agar anak-anak memahami perasaan orang lain, kepekaan hati mereka harus dilatih. Kita bisa saja mengajak mereka memberikan ‘sesuatu’ kepada orang lain di sekitar mereka. Mengambilkan obat bagi nenek yang sakit, memberikan sepotong kue kepada kakak atau pekerjaan lain yang sejenis. Meski tampak sedrhana, aktifitas-aktifitas ini –dan ucapan terima kasih yang mengiringinya-, akan menjadi pengalaman yang mengesankan bagi mereka. Dan ini akan sangat membahagiakan.
Dari hal-hal seperti inilah mereka tahu betapa berharganya tindakan mereka bagi orang lain. Darinya pula mereka akan belajar betapa menyenangkannya diperlakukan secara simpatik dengan ucapan itu. Juga betapa tidak enaknya jika bantuan yang diberikan, diremehkan orang lain. Pemahaman ini merupakan dasar bagi mereka untuk bersikap sama kepada orang lain. Sebab, mereka banyak belajar dari pengalaman pribadi mereka.
Tentu saja akan baik sekali, jika kita ajak mereka melakukan kegiatan sosial. Semisal mengumpulkan pakaian, makanan atau mainan, untuk kemudian disumbangkan kepada yang membutuhkan. Bisa tetangga kanan kiri, pengemis, atau anak-anak panti asuhan. Darinya mereka akan belajar mensyukuri kenikmatan yang selama ini mereka rasakan. Sebab seringkali, anak-anak yang hidup berkecukupan, kurang bisa bersyukur atau mengucapkan ‘terima kasih’ atas apa yang mereka dapatkan.
Pengalaman melihat anak-anak lain yang kurang beruntung, Insya Allah akan mengembangkan kepekaan hati, sekaligus menyadarkan, betapa beruntungnya mereka.
Satu hal yang harus kita hindari adalah memaksa anak-anak untuk mengucapkan ‘terima kasih’. Hal ini hanya akan membuat mereka terluka sebab merasa harga diri mereka dinodai. Meski mungkin akan keluar juga ucapan itu, tentu saja adalah sebuah ucapan tak acuh dan dingin. Padahal, terima kasih yang tulus dan hangatlah yang diharapkan setiap manusia. Silakan mencoba! Wallahu A’lam.